Selasa, 14 Juli 2020

A journey (1) : Semut di Kampus Gajah

22.45, 1 Mei


Kenalin, aku lah semut ini. Semut yang sok berani menampakkan diri di peristirahatan para gajah. Makhluk kecil yang menantang masa depan, penasaran dengan kehidupan buas yang belum pernah ia lalui. 

Hampir satu tahun, si semut menjelajah 'kandang' asing. Kandang yang dipenuhi makhluk-makhluk 'besar' nan ambisius. Kalau pun tak ambisius otaknya sangat cukup untuk membuat ku terinjak. 

Terkadang, aku menengok kebelakang. Pikiran konyol apa yang dulu terlintas hingga akhirnya aku memutuskan berada di sini. Apakah aku memang mendamba atau sekedar ingin mengembara? 

Kampus Gajah

Memaksa ku untuk terus memutar otak. Memaksa ku untuk survive

Aku tak tau. Untuk apa aku bertahan di sini yang jelas aku cukup malu untuk menyerah dan pulang.

Ya, sekedar rasa malu. 

Bertahan di 'kandang' yang ku rasa tak seharusnya menjadi liang. 
Jatuh bangun menyemangati diri sendiri bahwa semua akan baik-baik saja nyatanya tak bisa. 

Hei....Aku baru sadar, aku akan tenggelam atau terbawa arus kalau tak berani untuk melawan. 

Bagaimana bisa, semut penjelajah bertahan, menghindari kaki-kaki besar agar tak mati karena terinjak? Sedang aku tak terlihat, tak ada yang menuntun untuk keluar.

---

Aku SEMUT

Mereka bilang maba belum sepenuhnya merasakan 'kejamnya' kampus Gajah. 

Yoloo... Ku pikir aku terlalu bodoh untuk berada di sini.

Untuk aku di masa depan, entah kamu ada atau tidak, aku ingin berbagi. 

Bermula dari sidang terbuka di Sabuga, kau tau apa yang aku bayangkan?

Aku akan berada di sana 4 tahun mendatang, namaku dipanggil, mendapat Ganesha Prize, sungguh maba ambisius. Cela ku pada diri sendiri. 

Banyak yang bilang bertahan di kampus ini tidaklah mudah. Tetapi aku menyangkal, let it flow, semua bisa ku lalui. Ya, begitu sombongnya aku. Dan... 

Boom

Tak bisa. Quotes itu tak berlaku di sini. Aku, anak desa, seketika nyaliku ciut. Ku melihat para bintang bersinar dengan kilau masing-masing, mereka menempati posisi sesuai porsi. Sedangkan aku? Tersembunyi. Tak yakin aku adalah bintang. 

Semangat. Yang penting yakin

Kataku menyemangati diri sendiri saat pikiran mulai kacau dan menyerah selalu menjadi salah satu opsi. Aku ingin berhenti, ya pernah terlintas di pikiranku. 

Aku tidak berbohong, berada di lingkungan ini sungguh berat, memaksaku untuk terus berfikir, memaksaku untuk tak tersisih, setidaknya tidak menjadi yang terbawah.

Hasil tidak sebanding dengan usaha

Pikiranku yang dangkal menganggap usahaku sia-sia. Bagaimana tidak, begadang tiap malam, jam tidur berantakan, pola makan hancur, nggak ada me time tapi ujian tetap gagal. Aku tak mengerti, emang aku yang terlalu tak kompeten untuk berada di sini atau kampus ini yang terlalu berkelas?

Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku parno dengan ujian

Aku memendam segala keluh kesah, tak berani mengadu pada ayah ibu. Untuk apa, toh awalnya aku yang merengek, meminta direstui agar berada di sini.


Berada di antara para bintang membuat air mataku tak pernah absen setiap malam. Terkadang dengan bodohnya aku bertanya pada Tuhan atas ketidakmampuan ini. 


Aku di masa depan, entah kamu tertawa atau bersedih.

Satu semester tak ada kebebasan pada masa lalumu dulu. Aku terus memaksa untuk bisa, memaksa untuk memenuhi target, memaksa mendapat indeks cemerlang, hingga lupa apa yang harusnya aku tuju. 

Aku berfikir. 

Apakah memang 'kandang' ini yang mengurungku ataukah sebenarnya aku terjebak pada ambisi? 

Ku tutup buku yang tak pernah selesai ku baca. Mencoba melihat dari berbagai sisi. Menunduk untuk melihat ke bawah, mendongak untuk introspeksi. Aku memang semut kecil, tak ternilai tanpa kawananannya. Mereka semua gajah belalai besar yang suara selalu didengar. 

Ayah ibu, aku gagal?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dibalik Kata 'Insecure', Aku...

Istilah yang akhir-akhir ini memenuhi timeline, hampir selalu ada setiap mengakses sosial media.  Menjadi caption  wajib milenial unt...